Header Ads

Narkoba & Faktor Ekonomi Jadi Faktor Perceraian Di Indramayu

Beragam Berita Nasional - Keprihatinan muncul akibat tingginya angka perceraian di Kabupaten Indramayu. Terdapat berbagai alasan di balik tingginya kasus perceraian tersebut.



Berdasarkan data Pengadilan Agama (PA) Kabupaten Indramayu, selama tahun 2023, tercatat ada 8.869 pasangan yang mengajukan permohonan perceraian. Dari jumlah tersebut, sebanyak 7.931 pasangan mendapatkan putusan untuk bercerai.


Artinya, selama tahun 2023, terdapat 7.931 janda dan duda baru di Kabupaten Indramayu. Humas PA Kabupaten Indramayu, Dindin Syarief Nurwahyudin, menyebutkan bahwa faktor ekonomi menjadi penyebab utama terjadinya perceraian. Faktor ini juga memicu terjadinya konflik yang berkelanjutan hingga akhirnya berujung pada perceraian.


"Dalam 72 persen kasus perceraian, faktor ekonomi menjadi penyebabnya," ujar Dindin, pada Jumat (7/6/2024).


Selain itu, Dindin juga menjelaskan bahwa di balik tingginya angka perceraian, terdapat fenomena banyaknya kasus dispensasi kawin. Pasangan yang menikah pada usia yang masih terlalu muda ternyata belum memiliki kesiapan mental dalam menghadapi kehidupan rumah tangga, sehingga mudah untuk bercerai.


"Pada tahun lalu, saya pernah menangani kasus perceraian di mana salah satu pasangan masih berusia 16 tahun," ungkap Dindin.


Dindin juga menyebutkan bahwa secara keseluruhan, pasangan yang mengajukan perceraian didominasi oleh usia 22-30 tahun. Selain itu, di balik tingginya kasus perceraian, terdapat juga fenomena kawin cerai. Artinya, tidak semua permohonan perceraian yang diajukan ke PA Indramayu merupakan kasus perceraian baru. Banyak di antaranya merupakan kasus perceraian yang terjadi berulang kali.


Sebelumnya, Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo mengekspresikan kekecewaannya terhadap fakta bahwa terdapat 500 ribu kasus perceraian yang terjadi di Indonesia setiap tahun. Hasto menyampaikan hal ini dalam peringatan Hari Keluarga Nasional di Bali pada Selasa (4/6/2024), di mana ia menyoroti masalah kesehatan mental dan jiwa sebagai penyebab utama perceraian.


Hasto menyatakan, "Hari ini, jumlah kasus perceraian dalam setahun mencapai tidak kurang dari 500 ribu pasangan. Dalam rangka peringatan Hari Keluarga Nasional, hal ini sungguh menyedihkan."


Meskipun belum ada pemetaan provinsi dengan tingkat perceraian tertinggi, Hasto memperkirakan bahwa Jawa Barat masih menjadi provinsi dengan jumlah perceraian terbanyak. Dalam momentum Hari Keluarga Nasional, Hasto berharap bahwa angka 500 ribu kasus perceraian dalam setahun ini dapat menjadi kesempatan untuk introspeksi, mengingat data perceraian yang sudah inkrah di pengadilan.


Hasto juga mencatat bahwa peningkatan kasus perceraian di Indonesia terjadi sejak tahun 2015, di mana pada tahun 2010 jumlahnya masih sekitar 200 ribu per tahun.


Menurut Hasto, kondisi ini memberikan dampak negatif terhadap anak-anak yang ditinggalkan, terutama bagi ratusan ribu janda yang harus menghadapi tantangan ekonomi setelah perceraian. BKKBN mencatat bahwa di beberapa daerah, janda-janda ini berada dalam kelompok miskin ekstrem.


"Oleh karena itu, pada hari ini, kita tidak hanya fokus pada pembangunan fisik, penurunan stunting, dan peningkatan penggunaan kontrasepsi, tetapi juga pada pembangunan jiwa," ujar Hasto.


Dalam pidatonya saat peluncuran pelayanan sejuta akseptor, Kepala BKKBN menekankan pentingnya kesehatan mental karena dampak

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.